Sabtu, 06 November 2010

tugas sosiologi politik

BAB I
KONSEP DAN PENGERTIAN SOSIOLOGI POLITIK
A. SOSIOLOGI
I. Latar Belakang Sosial Lahirnya Sosiologi
Sosiologi sebetulnya merupakan refleksi ilmiah atas perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kita perlu mengetahui beberapa perubahan sosial yang mendorong lahirnya sosiologi sebagai suatu ilmu.
Revolusi Politik
Revolusi politik yang fenomenal adalah revolusi politik yang terjadi di Perancis tahun 1789 dan beberapa perubahan politik lainnya yang terus berlanjut sampai abad 19. Dalam revolusi itu terjadi situasi khaos dan ketidak tertiban. Masyarakat tiba-tiba berubah dari organisasi yang teratur, tertib menjadi tidak teratur. Ketidaktertiban ini mendorong ilmuwan untuk mereleksikan faktor sosial apa yang mungkin bagi ketertiban sebuah masyarakat?
Revolusi Industri dan Kebangkitan Kapitalisme
Revolusi industri dan Kebangkitan Kapitalisme ditandai transformasi ekonomi dari agrikultur menjadi industri. Banyak orang meninggalkan dunia pertanian dan memilih bekerja pada dunia industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik. Dalam sistem industri ini orang bekerja dengan waktu yang lama namun mendapat upah yang rendah.
Situasi buruh yang meperihatinkan dalam dunia industri melahirkan gerakan-gerakan buruh yang menentang sistem kapitalisme yang tidak adil. Gerakan ini membawa bencana yang besar terutama bagi masyarakat Barat. Situasi ini mendorong Karl Marx, Emile Durkehim, Max Weber dan Geroge Simel untuk melakukan refeleksi kritis terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat kapitalisme.
Kebangkitan Sosialisme
Sosialisme merupakan jawaban atau jalan keluar yang ditawarkan oleh Karl Marx terhadap eksploitasi terhadap manusia terutama buruh sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Kapitalisme.
Urbanisasi
Sejumlah besar orang pada abad 19 dan ke 20 tercerabut dari rumah mereka di pedesaan dan pergi ke kota. Hal ini disebabkan oleh tawaran industri-industri di kota. Hal in membawa persoalan, mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupa kota, kota mengalami kepadatan penduduk, polusi, kemacetan dan seterusnya. Alam kehidupan perkotaan dan persoalan-persoalannya menarik perhatian para sosiolog.
Perubahan Agama
Perubahan-perubahan sosial sebagamana yang terjadi dalam revolusi industri, politik dan urbanisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap agama. Perubahan dalam agama menarik perhatian August Comte, Emile Durkheim Max Weber, dan Karl Marx.
Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tidak hanya diajarkan di kolese-kolese atau universitas-universitas tetapi juga dalam masyarakat secara keseluruhan. Produk teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi setiap sektor kehidupan.
II. Pengertian Sosiologi
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya.
Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.
Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comtetahun 1842. Sehingga Comte dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Selanjutnya Emile Durkheim— ilmuwan sosial Perancis — yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology pada tahun 1876. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :
1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
III. Definisi Sosiologi
Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
1. Pitirim Sorokin.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
2. Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok- kelompok.
3. William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
4. J.A.A Von Dorn dan C.J Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
5. Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
6. Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
7. Soejono Soekanto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
8. William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
9. Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola- pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum,rasional,empiris serta bersifat umum.Ciri-ciri umumnya adalah semua gejala sosial.
-Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi -
Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Lebih janjut Soemardjan dan Soemardi menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok seperti kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok sertal lapisan-lapisan sosial.
Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dengan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Dan perubahan sosial merupakan bagian dari proses sosial itu sendiri.
Dari dua defenisi tersebut di atas ada beberapa elemen yang dapat kita jelaskan lebih lanjut yang merupakan hakekat dari sosiologi itu sendiri yakni 1) sosiologi sebagai suatu ilmu; 2) masyarakat. Walaupun dua ahli tersebut di atas tidak menyebut “masyarakat”, apa yang sebut sebagai struktur sosial dan proses sosial yang terjadi dalam struktur sosial itu sendiri melahirkan apa yang kita sebut sebagai masyarakat.
Sosiologi Sebagai Suatu Ilmu
Sebagai ilmu pengetahuan Sosiologi memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Bersifat empiris karena didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan Observasi itu dan hasil atas obeservasi itu didasarkan pada pertimbagana akal sehat (rasional)
Bersifat teoretis karena selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis yang menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori
Sosiologi bersifat kumulatif. Sosiologi dibentuk oleh teori-teori yang sudah ada, namun terus berkembang.
Sosiologi bersifat nonetis. Sosiologi tidak mempersoalkan baik buruknya fakta tertentu, tetapi tujuannya menjelaskan fakta secara analitis.
Perspetif Sosiologi
Perspektif struktural fungsional
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri bagian-bagian yang berbeda, namun secara bersama menghasilkan stabilitas. Asumsi dasar dari perspetik ini adalah masyarakat dibentuk oleh struktur sosial yang terdiri dari pola-pola tingkah laku yang relatif stabil. Struktur sosial yang penting adalah bagia-bagian yang utam dalam masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem politik dan agama. Elemen lain dari struktur sosial adalah fungsi sosial yang mengacu pada konsekwensi bagi berjalan masyarakat secara keseluruhan. Elemen-elemen ini terdiri dai bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain.
Perspekti sosial-konflik
Perspektif ini berakar pada pemikiran Karl Marx yang membagi masyarakat atas dua kelas yang kelas yakni kaum borjuis dan kaum proletat. Kaum borjuis memiki kapital untuk mengontrol alat-alat produksi, sedangkan kaum proletar hanya sebagai tenaga kerja. Kelas yang pertama memiliki kekuasaan, sedangkan kelas yang lain tidak memiliki kekuasaan. Kedua kelas ini selalu berada dalam kemungkinan untuk saling menguasai.
Perspektif interaksi simbolik
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai suatu hasil dari interaksi individu yang berlangsung secara terus menerus dan berbagai konteks.
Ruang Lingkup Sosiologi
Adapun ruang lingkup secara garis besar ialah masyarakat itu sendiri. Selanjutnya di dalam masyarakat terdapat individu yang antara satu dengan yang lainnya berbeda baik kriteria, sifat, kemampuan, kebiasaan, maupun kondisi perekonomiannya. Pada hakekatnya ruang lingkup Sosiologi itu sendiri merupakan segala aspek yang ada dan terjadi pada lingkungan masyarakat.
B. POLITIK
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).

Pengertian politik dari para ilmuwan:

Johan Kaspar Bluntschli

dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned with the state, which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its essentials nature, in various forms or manifestations its development).
Roger F. Soltau
dalam bukunya Introduction to Politics: “Ilmu Politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warganegaranya serta dengan negara-negara lain.” (Political science is the study of the state, its aims and purposes … the institutions by which these are going to be realized, its relations with its individual members, and other states …).
J. Barents
dalam bukunya Ilmu Politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara … yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.”
Joyce Mitchel
dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society).
Harold D. Laswell dan A. Kaplan
dalam buku Power Society: “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What, When and How, Laswell menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.”
W.A. Robson
dalam buku The University Teaching of Social Sciences: “Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, … yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik … tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.” (Political science is concerned with the study of power in society … its nature, basis, processes, scope and results. The focus of interest of the political scientist … centres on the struggle to gain or retain power, to exercise power of influence over other, or to resist that exercise).
Karl W. Duetch
dalam buku Politics and Government: How People Decide Their Fate: “Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum.” (Politics is the making of decision by public means).
David Easton
dalam buku The Political System: “Ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan umum.” Menurutnya “Kehidupan politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang memengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang memengaruhi cara untuk melaksanakan kebijakan itu. Kita berpartisipasi dalam kehidupan politik jika aktivitas kita ada hubungannya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk suatu masyarakat.” (Political life concerns all those varieties of activity that influence significantly the kind of authoritative policy adopted for a society and the way it is put into practice. We are said to be participating in political life when our activity relates in some way to the making and execution of policy for a society).
Ossip K. Flechtheim
dalam buku Fundamentals of Political Science: “Ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat memengaruhi negara.” (Political science is that specialized social science that studies the nature and purpose of the state so far as it is a power organization and the nature and purpose of other unofficial power phenomena that are apt to influence the state).
Deliar Noer
dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik: “Ilmu Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.”
Kosasih Djahiri
dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang melihat kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai cara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenarnya setiap individu tidak dapat lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang dapat menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang memengaruhi.”
Wirjono Projodikoro
menyatakan bahwa “Sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Dalam ilmu politik selalu ada kekuasaan atau kekuatan.”
Idrus Affandi
mendefinisikan: “Ilmu politik ialah ilmu yang mempelajari kumpulan manusia yang hidup teratur dan memiliki tujuan yang sama dalam ikatan negara.”
Masih banyak pengertian tentang politik dan atau ilmu politik yang disampaikan para ahli. Namun dari yang sudah terkutip kiranya dapat dipahami bahwa politik secara teoritis meliputi keseluruhan azas dan ciri khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan yang akan dicapai negara. Sedangkan secara praktis, politik mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu (negara sebagai lembaga yang dinamis).
Pemahaman saya adalah Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pemahaman ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
· politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
· politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
· politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
· politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Teori politik

Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Pembagian atau alokasi adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, politik merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara mengikat.
Sistem politik suatu Negara selalu meliputi 2 suasana kehidupan. Yaitu:
a. Suasana kehidupan politik suatu pemerintah (the Govermental political sphere)
b. Suasana kehidupan politik rakyat (the sociopolitical sphere)
Suasana kehidupan politik pemerintah dikenal dengan istilah suprastruktur politik, yaitu bangunan “atas” suatu politik. Pada suprastruktur poliyik terdapat lembaga-lembaga Negara yang mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan politik (pemerintah).
Suasana kehidupan politik rakyat dikenal istilah “Infrastruktur politik” yaitu bangunan bawah suatu kehidupan politik, yakni hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelompokan warga Negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat.
Infrastruktur politik mempunyai 5 unsur diantaranya:
1. Partai politik
2. Kelompok kepentingan
3. Kelompok penekan
4. Alat komunikasi politik
5. Tokoh politik.
C. SOSIOLOGI POLITIK
I. Sejarah Sosiologi Politik
Dalam tradisi ilmu sosial, sosiologi politik sangat konsern pada masalah kekuasaan. Kekuasaan ditafsir sebagai kesanggupan individu atau suatu kelompok sosial guna melanjutkan bentuk tindakan (membuat dan melaksanakan agenda keputusan). Pada awalnya sosiologi politik dipandang sebagai ilmu tentang negara dan ilmu tentang kekuasaan. Dari dasar teori umum di atas, selanjutnya Marx mengembangkan ke teori khusus, antara lain:
1. Teori konflik material (ekonomi) yang saling berhubungan, bahkan seringkali yang satu disandarkan sebagai penghancur yang lainnya
2. Teori nilai lebih dan eksploitasi terhadap kerja.
3. Teori perjuangan kelas (borjuis = pemilik modal, proletar = bukan pemilik modal).
4. Teori alienasi (pengasingan); bagi kelas proletar dari lingkungan masyarakatnya.
Walaupun teori yang dikembangkan Marx banyak mendapat kritikan, namun lebih dari itu yang terpenting, Marx telah memberikan sumbangan bagi muncul dan berkembangnya sosiologi politik yang tercermin pada teori umumnya tentang dialektika materialisme dan teori-teori khususnya mengenai perjuangan kelas, alienasi dan sebagainya; yang dapat merangsang timbulnya karya-karya lain dalam bidang sama yang mendapatkan pengembangan di sana-sini.
Di samping memberikan sumbangan teori umum dan khusus, sosiologi di bawah pengaruh Marx mendapatkan pengayaan dalam bidang metodologi. Hal ini cukup berarti bagi pengakuan karya Marx dalam sosiologi politik, bahwa ia tidak sekedar mendasari karyanya lewat deskripsi-deskripsi hampa, melainkan selalu memberikan kerangka dasar dan cara kerja terhadap teori-teorinya dengan jalan memunculkan pembuktian dan cara pengujiannya secara sistematis dan terkesan amat jeli dan teliti.
Sedangkan "bapak" pendiri kedua dalam ilmu sosiologi (setelah Marx) adalah Max Weber. Kendati pada sisi-sisi lain, hadirnya Weber merupakan kritik terhadap Marx, telapi patut diakui terdapat sejumlah upaya pengembangan yang dilakukannya yang sangat berarti bagi perkembangan sosiologi politik..
Max Weber mendasari teori sosiologi politiknya pada status atau posisi individual di tengah masyarakat; yang saling berganti dan kadang tumpang tindih. Bagi Weber, antara status, posisi dan struktur sosial satu sisi dapat dipisah-pisahkan, namun pada sisi lain terkadang merupakan suatu system yang sulit diidentifikasikan.
Hal tersebut dapat diamati melalui metodologinya dalam sosiologi politik ini. Dalam metodologinya, Weber menyatakan politik atau perjuangan bersama-sama berintikan melaksanakan politik atau perjuangan untuk pendistribusian kekuasaan di dalam suatu kekuasaan besar (negara) maupun kekuasaan kecil (kelompok-kelompok).
Barangkali sumbangan Weber dalam sosiologi politik begitu mencolok ketika ia mengemukakan konsep mengenai legitimasi. Menurutnya, ada tiga legitimasi yang dapat dipahami sebagai pemetaan sosiologi politik, yakni:
1. Dominasi tradisional
Dominasi tradisional adalah legitimasi berdasarkan suatu kewibawaan yang dapat diperoleh melalui adat-istiadat atau kebisaan yang karenanya seseorang mendapatkan pengakuan untuk melaksanakan penyesuaian diri.
2. Dominasi diri
Dominasi diri adalah legitimasi berdasarkan kewibawaan yang diperoleh lewat keanggunan pribadi yang luar biasa hingga mencapai adi-manusiawi dan adi-kodrati, dan ketaatan serta kepercayaan kepada wahyu yang bersifat mutlak. Dalam anti, lewat keluarbisaan ini seseorang individu mendapatkan legitimasi dalam proses kekuasaan di tengah masyarakat.
3. Dominasi kebajikan legalitas
Legitimasi akan diperoleh oleh seseorang apabila ia menyandarkan diri pada kepatuhan akan undang-undang atau peraturan-peraturan yang dibuat secara rasional. Tanpa adanya keabsahan melalui undang-undang dan seperangkat aturan maka seseorang sulit akan memperoleh legitimasi kekuasaan di tengah masyaraktnya.
Bermula dari dua "bapak" pendiri ini sosiologi politik berkembang dengan pesat. Perkembangan itu segera menemukan bentuknya setelah pemikiran politik memperlakukan hubungan antara civil society dengan negara dalam cara yang berbeda. Pencetus awalnya adalah Tacqueville. Pandangan Tacqueville difokuskan pada masalah pembangunan demokrasi dan pembentukan masyarakat modern di Perancis, Inggris, dan Amerika. Gerakan demokrasi (suatu fenomena gerakan politik modern), menurutnya ditunjukkan untuk menghasilkan pembedaan persamaan sosial dengan cara menghasilkan pembedaan kedudukan karma keturunan, penghargaan dan penghormatan yang melekat pada setup anggota masyarakat. Disinilah barangkali Tacqueville telah masuk dalam perkembangan sosiologi modern (Bottomore, 1992).
Letak kemodernannya pada upayanva amok menghindarkan pengelompokan masyarakat politik secara diskriminatif seperti­ secara eksplisit maupun implisit-dijumpai pada Marx maupun Weber, juga pemikiran demokrasi nyatanya merupakan pemikiran yang paling laris di panggung politik, pada tataran global, regional, maupun nasional. Sebuah percobaan, dilaksanakan dan direncanakan, nampak lebih banyak ingin diupayakan oleh negara-negara modern, ketimbang menantang secara ekstrem ide demokrasi.
Perkembangan berikutnya sosiologi politik dapat diamati pada beberapa ilmuwan beserta pemikirannya sebagai berikut:
1. Goentano Mosca
Mosca ingin menekankan pentingnya independensi. Independensi yang diinginkan Mosca ini menunjukkan pemikiran Marx yang menjelaskan sistem perlawanan dan berkelas-kelas. Jelasnya, kendati realitas masyarakat politik menunjukkan pelapisan-pelapisan yang cenderung diskriminatif, namun menurut Mosca semua dapat dilaksanakannya dengan cara membangun perimbangan kekuatan dan kekuasaan.
2. Karl Popper
Secara ekstrim, Popper menyebut teori Marxis tentang masyarakat politik dianggap menunjukkan "inpotensi semua politik", selama sistem politik dan trasformasinya masih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan non politis. Jelasnya Popper ingin melihat persoalan politik adalah politik yang hanya bisa ditafsirkan lewat kesamaan umum dalani realitas sosial masyarakat politik.
3. Vilfredo Pareto
Pareto ingin menyatakan bahwa betapa pentingnya adanya suatu elite dalam kekuasaan. Karma elite politik mampu diwujudkan sebagai suatu fakta kehidupan sosial yang universal, tidak berbeda, dan tidak dapat berubah yang eksistensinya tergantung pada perbedaan-perbedaan psikologis antar individu.
Dalam pemikiran Pareto tercermin bahwa kekuasaan politik dalam masyarakat akan terwujud apabila ditegakkan melalui konsep "pemimpin" dan "dipimpin"; sebagai unsur dominan mekanisme politik dalam masyarakat yang tidak semata berguna bagi efektivitas mesin politik, melainkan suatu jawaban adanya tertib politik dalam masyarakat.
Perkembangan terakhir sosiologi politik jelas menunjukkan beragamnya teori, metodologis dan beragamnya paradigma. Cara menelaahnya, ditunjukkan oleh Bottomore (1992), yakni bahwa semuanya itu merupakan masalah dan jalan keluar yang membentuk suatu lapangan bagi penyelidikan ilmiah. Tugas para penstudi sosiologi politik adalah mengkonfrontif sernua perkembangan itu dengan memandangnya dalam kerangka proses sejarah perubahan secara terus-menerus sebagai pertanda kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam sosiologi politik. Melalui perkembangan itu pula, akan diketahui betapa luasnya cakupan sosiologi politik itu.
II. Aliran Pemikiran Sosiologi Politik
Setidaknya sampai saat ini para ilmuwan sosiologi politik - seperti Maurice Duverger, Michael Rush, Phillip Althoff maupun Tom Bottomore - belum meringkas secara rinci dan sistematis tentang apa yang disebut aliran pemikiran sosiologi politik. Kendati demikian, sejak permulaan tumbuh sampai perkembangannya, setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan beberapa aliran yang meliputi positivisme, marxisme, empirisme dan struktualisme. Walaupun mungkin pembaca acapkali kabur membedakannya, penulis ingin menerangkan pembatas itu dan sedapat mungkin mencari benang merah pembedaannya.
1. Positivisme
Akar positivisme berangkat dari pemikiran bahwa tidak ada perbedaan-perbedaan penting antara ilmu sosial dan ilmu alam, karenanya aliran ini bermaksud menyajikan suatu hubungan kausal terhadap peristiwa-peristiwa sosial.
Positivisme memandang bahwa studi tentang masyarakat manusia merupakan upaya pemahaman tentang pengertian tindakan yang diatur dengan hukum dan dilakukan dengan sengaja. Namun demikian, sepanjang perkembangannya, dalam teori politik itu sendiri terjadi perdebatan yang cukup mendalam dan sistematis seperti dalam karya Poulantzas dan sejumlah tokoh lainnya mengenai negara dan dalam pembahasan Habermas tentang legitimasi.
Positivisme sering dituding telah melahirkan reorientasi radikal ilmu politik, careen ia cenderung mengarah pada sudut pandang ilmu alam. Rumusannya yang mesti mendapatkan perhatian terhadap perilaku politik dibandingkan dengan struktur formal dari lembaga-lembaga, dapat diikuti dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan apakah perilaku dipandang sebagai aktivitas fisik yang dapat diamati dan yang dapat dijelaskan secara kasuistis, ataukah sebagai tindakan sengaja. Disinilah positivisme mendapatkan ruang bagi perdebatan.
2. Empirisme
Empirisme menyatakan pandangannya bahwa pengetahuan ilmiah haruslah didasarkan pada pengujian dan pengamatan melalui pengumpulan fakta tertentu yang terdapat secara pasti dalam ilmu-ilmu sosial. Hal ini yang ditandaskan dalam empirisme adalah bahwa suatu ilmu pengetahuan bukanlah berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta yang dapat diobservasi secara langsung, tetapi melalui elaborasi konsep­konsep yang merumuskan fakta dan menentukan kedudukannya.
Dalam empirisme, aktivitas teoritis akan mencakup penemuan dan analisa terhadap suatu realitas di luar apa yang diterima dengan segera. Seperti dikatakan Maurice Godelier (1974), bahwa perbedaan tegas antara pandangan kaum strukturalis dengan empiris terletak pada struktur sosialnya.
Pendapat tersebut nampak relevan dengan empirisme. Berbagai usaha berikutnya telah dilakukan, terutama yang dibahas dalam Lakatos dan Musgrave dalam karyanya "Criticism and Growt of Knowledge" untuk merumuskan berbagai versi pengertian testabilitas empiris yang lebih jitu.
3. Strukturalisme
Strukturalisme seringkali menempatkan dirinya dalam sosok yang berlainan dengan empirisme. Permasalahannya tidak berkaitan dengan perbedaan di antara ilmu-ilmu yang bersifat umum dan yang bersifat khusus, yakni suatu perbedaan yang terfokus pada ilmu alam dengan ilmu sosial, lebih dari itu dapat diamati pada sifat ilmu pengetahuan umum tentang masyarakat.
Perbedaan itu nampak pada perumusan pernyataan universal tentang struktur-struktur sosial dan unsur-unsurnya (misalnya; tentang struktur kekerabatan, hubungan-hubungan politis dan struktur-struktur dalam sistem politik yang berbeda), juga perbedaan itu terletak pada kultural codes (ciri kultural). Atau sebaliknya, bahwa untuk merumuskan prinsip-prinsip evolusi sejarah sebagaimana banyak ditelaah kaum evolusionis sosial.
Pada strukturalisme, sumber-sumber utamanya dalam hal struktur antropologi dan linguistik; yang dapat ditelusuri dalam doktrin epistimologis Perancis, khususnya dalam karya Bachelard.
4. Marxisme
Kerdati Marxisme harus disebut sebagai aliran awal sosiologi politik, namun yang ingin ditekankan di sini bahwa aliran sebelumnya (positivisme, empirisme dan strukturalisme) sebagaimana ditempatkan oleh Tom Bottomore (1992) dipandang sebagai kritik terhadap Marxisme.
Sebab harus diakui bahwa Marxisme merupakan inti pusat konsep-konsep dan proposisi-proposisi teoritis. Namun hal ini tidak berarti akan mampu menyelesaikan permasalahan secara utuh. Sehingga pada tingkat yang lebih umum dapat dibedakan secara keseluruhan dengan semua aliran di luar Marxis. Terlebih aliran Marxis dengan non Marxis tidak selalu jelas dan tidak dapat ditegaskan batasan-batasannya - kalau memang harus disebut masih terkait.
Selama Marxisme dapat dibedaksn sebagai sebuah paradigma umum yang bersifat saling berbeda dengan paradigma Iainnya, maka mau tidak mau akan melibatkan dua karakteristik khusus yang tidak semata-mata bersifat teoritis atau metodologis. Pertama, hubungan Marxis dengan kehidupan sosial praktis. Kedua, terletak pada orientasi idieologisnya. Karena itu, perbedaan antara Marxisme dengan aliran pemikiran lainnya bukanlah dalam satu kasus hubungan antara teori dengan praktek, karma hubungan semacam ini terdapat dalam semua pemikiran sosial walaupun dalam tingkat kejelasan yang berbeda-beda.
Menanggapi Marxisme sebagaimana ditandaskan oleh Lukacs (1968), bahwa Marxisme pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar ekspresi pemikiran tentang proses revolusi. Hal yang berguna dari Marxisme, bahwa Marxisme memberikan kerangka fundamental terhadap bentuk-bentuk masyarakat, menguatnya segala keyakinan, memunculkan jenis masyarakat baru sehingga jelas-jelas mengarahkan kepada adanya tindakan politik dalam masyarakat.
Lebih dari itu, Marxisme patut dicatat sebagai aliran pemikiran sosiologi politik, menurut Rush & Althoff (1995), yang memberikan sumbangan di bidang metodologi. Usaha pengembangannya mengenai "sosialisasi ilmiah" memberikan standar keilmuan dan metode-metode yang menjadi rujukan bagi ilmuwan-ilmuwan berikutnya. Marxisme tergolong aliran pemikiran yang kokoh teori-teorinya dengan ciri kemampuannya menyajikan sejumlah pembuktian dan mengujinya dengan cara yang sistematis dan teliti.
III. Keterkaitan Sosiologi dan Politik
Karena pelaku Politik merupakan bagian dari masyarakat yang juga harus memiliki rasa sosial, maka di sinilah keterkaitan Sosiologi dan Politik. Dalam berpolitik kita akan menghadapi berbagai masalah di antaranya pesaing. Maka agar kita dapat bersaing dengan pesaing, kita harus memiliki Ilmu Sosiologi yang cukup yang bertujuan untuk mengetahui titik kelemahan pesaing kita baik dari sikapnya, tingkah lakunya dan lain sebagainya.
Pada intinya, pelaku politik adalah manusia yang merupakan bagian dari masyarakat, sedangkan Ilmu sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang hampir keseluruhan dari aspek-aspek yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga untuk berpolitik kita harus mengerti atau faham dulu tentang aspek kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya keterkaitan antara Sosiologi dan Politik itu sangat erat dan saling menimbulkan ketergantungan antara satu dan yang lainnya.
Pendekatan dalam sosiologi politik ?
Pendekatan adalah orientasi khusus atau titik pAndang tertentu yang digunakan dalam studi atau penelitian sosiologi politik. Ada 4 pendekatan yang umum dilakukan dalam studi sosiologi politik, yaitu :
(1) Pendekatan historis,
(2) Pendekatan komparatif,
(3) Pendekatan insttitusional, dan
(4) Pendekatan behavioral.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosiologi politik?
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosiologi politik antara lain:
Keluarga
Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang anak, diantaranya karena:
a. Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak
b. Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua
c. Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga
d. Tingkat minat orang tua terhadap politik
e. Proses sosialisasi politik keluarga
Agama dan Ekonomi
Selain keluarga faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu adalah agama yang dianutnya. Dalam kenyataan pendidikan anak dalam keluarga antara lain mengajarkan tentang otoritas, yaitu otoritas orang tua. Otoritas ini merupakan perpaduan antara otoritas politik dan agama. Sementara organisasi keagamaan di luar rumah pada kenyataannya juga mensosialisasikan ajaran yang mengandung pendidikan politik. Dengan demikian agama yang memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran juga dapat mendorong individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Stratifikasi serta Sistem Nilai dan Kepercayaan
Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perbedaan keyakinan dan pola perilaku individu di berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik. Perbedaan kelas akan tercermin pada praktik sosialisasi, aktivitas budaya, dan pengalaman sosialnya.Tingkat partisipasi individu dalam voting dilukiskan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, dan Status individu tersebut.
Dampak dari sosiologi politik?
Sosiologi politik membawa dampak pada lahirnya dimensi-dimensi baru dalam konsep pembangunan. Menurut Webster (1984), terdapat lima dimensi yang perlu untuk diungkap, antara lain :
1. Posisi negara miskin dalam hubungan sosial dan ekonominya dengan negara-negara lain.
2. Ciri khas atau karakter dari suatu masyarakat yang mempengaruhi pembangunan.
3 Hubungan antara proses budaya dan ekonomi yang mempengaruhi pembangunan.
4. Aspek sejarah dalam proses pembangunan atau perubahan sosial yang terjadi.
5. Penerapan berbagai teori perubahan sosial yang mempengaruhi kebijakan pembangunan nasional pada negara-negara berkembang.
BAB II
MASYARAKAT DAN KONFLIK
A. MASYARAKAT
Dalam melihat masyarakat manusia, terdapat perbedaan pandangan yaitu antara teori fungsional, teori konflik dan teori radikal. Teori fungsional memposisikan karakter sistemik dari masyarakat manusia dan kemudian menjelaskan tindakan pada bagian-bagian dalam kaitanya dengan kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian-pencapaian yang diharapkan. Sebaliknya teori konflik berkarakter antisistemik. Teori ini menekankan bahwa konflik dan perjuangan secara konstan mengancam struktur masyarakat. Sedangkan teori radikal cenderung memandang masyarakat manusia berada di tengah-tengah, di mana konflik kehidupan berlangsung.
Kepentingan individu berbeda dengan kepentingan masyarakat. Di mana kepentingan masing-masing individu berbeda-beda. Manusia tidak mempunyai tujuan yang sama. Meskipun ada kesamaan tujuan seringkali tidak ditempatkan
pada tingkatan yang sama. Ini dikarenakan masing-masing individu secara tetap harus memilih di antara tujuan-tujuan yang mereka inginkan. Namun tujuan yang paling dasar dari individu adalah usaha mempertahankan status dan prestise, menciptakan kenyamanan, keselamatan di dunia dan akhirat.
Kepentingan masyarakat berbeda dengan kepentingan individu. Karena ketika menjadi anggota masyarakat kita diharuskan untuk mendefinisikan sebagai tujuan masyarakat bukan sebagai tujuan individu lagi. Dalam mendefinisikan tersebut tanpa melihat lagi atau memandang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bagi anggota-anggota individu bahkan sebagian mayoritas. Dan seringkali kelas yang dominan mempunyai pengaruh yang sangat besar, di mana mereka memiliki kekuatan untuk menentukan arah terkoordinasi dari masyarakat. Sehingga tujuan-tujuan masyarakat adalah tujuan-tujuan dari kelas yang dominan tersebut.
I. Pengertian Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Obyek Studi sosiologi pada dasarnya adalah masyarakat itu sendiri. Pengertian-pengertian tentang masyarakat yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini dapat kita temukan dalam Soerjono Soekanto (2006) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi, Suatu Pengantar.
MacIver dan Page:
Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah inilah yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan. Dan masyarakat selalu berubah.
Ralfph Linton:
Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
Selo Soemarjan:
masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.
Auguste Comte:
Comte melihat masyarakat sebagai keseluruhan organik. Keseluruhan pada dasarnya selalu terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Namun menurut Comte masyarakat lebih dari sekedar terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Masyarakat juga menurut Comte bersifat dinamis dan selalu berkembang. Untuk menjelaskan tesisnya ini Comte membagi masyarakat dalam tiga tahap yakni tahap teologis, metafisis dan positif.
Pada tahap teologis manusia percaya bahwa keteraturan sosial diselenggarakan oleh hal-hal yang bersifat supranatural. Tahap metafisis merupakan tahap peralihan dari tahap teologis menuju tahap positif. Tahap metafisis ditandai oleh keyakinan akan hukum-hukum alam yang dapat dijelaskan oleh akal budi. Dan tahap terakhir adalah tahap positif yakni kepercayaan kepada data-data empiris. Data-data empiris ini memungkinkan manusia memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
II. Ciri-Ciri Masyarakat:
Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang sama merumuskan beberapa ciri masyarakat sebagai berikut:
o Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Tingkatan hidup bersama ini bisa dalam dimulai dari kelompok duaan.
o Hidup bersama untuk waktu yang cukup lama. Dalam hidup bersama ini akan terjadi interaksi. Interaksi yang berlangsung terus menerus akan melahirkan sistem interaksi yang akan nampak dalam peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia.
o Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan
o Mereka merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terkait satu dengan yang lainnya.
III. Unsur-Unsur Masyarakat
Unsur-unsur suatu masyarakat:
Ø Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak
Ø Telaah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu.
Ø adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.
B. KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
I. Defnisi konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
II. Beberapa pandangan mengenai peran konflik
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Berdasarkan penjabaran pandangan - pandangan di atas, ada dua hal penting yang bisa disorot mengenai konflik:
1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.
III. Faktor penyebab konflik
Ø Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Ø Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Ø Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Ø Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
IV. Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
1. konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
5. konflik antar atau tidak antar agama
6. konflik antar politik.
V. Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
ü Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
ü Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
ü Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
ü Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
VI. Proses pemetaan konflik
(sumber referensi kuliah)
Pahami isyu/ pernyataan

star

IDENTIFIKASI
PELAKU/AKTOR
IDENTIFIKASI IMPLIKASI
finis
Identifikasi gerakan
IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
IDENTIFIKASI STAKEHOLDER
IDENTIFIKASI INTERVENSI
IDENTIFIKASI RESOURCES
IDENTIFIKASI POSISI AKTOR
IDENTIFIKASI KEPENTINGAN

VII. Perspektif mengatasi Dilema
v Dilema dalam ilmu-ilmu sosial (khususnya Sosiologi Politik) adalah tidak adanya konsensus baku untuk memahami berbagai fenomena politik. Setiap ilmuwan sosial akan dipengaruhi oleh perspektif yang berbeda dalam menyusun kerangka analisis untuk memahami berbagai fenomena sosial.
v Maka kita akan menemukan suatu kesimpulan yang berbeda terhadap suatu fenomena yang sama, karena adanya perbedaan perspektif.
v Dalam proses keilmuan, perspektif atau pendekatan berfungsi sebagai kriteria utnuk memilah-milah maslah yang hendak diteliti dan sebagai penuntun ke arah metode penelitian yang hendak digunakan.
v Kita perlu memahami keragaman perspektif yang sering digunakan oleh Sosiologi Politik, karena keragaman itu menunujukkan adanya pengakuan jujur bahwa fenomena sosial tidak diakibatkan oleh penyebab tunggal atau satu faktor saja, melainkan adanya hubungan multi-kausal dalam hubungan antar variabel ilmu sosial.
v Di samping itu untuk menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk memahami fenomena secara menyeluruh dan dari segala segi sangatlah terbatas, sehingga perlu dilakukan pengkhususan dan pembatasan pusat perhatian.
PROSES PENYELESAIAN KONFLIK:
1. Langsung
2. Perantara
3. Pengadilan
4. Represif
SALURAN PENYELESAIAN KONFLIK:
a. Politik, penyadaran positioning
b. Ekonomi, redistribusi
c. Budaya, lokalisir isu
d. Institusi, jalur organisasi
e. Hokum formal, pengadilan
Resolusi-resolusi konflik
PERSPEKTIF TEORITIS/
ISSUE
Struktural-Fungsional
(termasuk teori konsensus, teori sistem dan teori-teori yang dipengaruhi Talcott Parson)
Konflik
(misalnya Ralf Dahrendorf, Lewis Coser)
Kelas
(Teori-teori yang dipengaruhi Karl Marx)
Elitis
(Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, Robert Michels, C. Wright Mills, dan Robert D. Putnam)
Pluralis
(Robert Dahl, Suzzane Keller)
1.
MASYARAKAT
Suatu sistem sosial yang diikat nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang sama. Konsensus.
Arena bagi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dan arena bagi pertikaian.
Arena bagi pertikaian antar-kelas sosial.
Didominasi dan dipimpin oleh kelompok minoritas yang terorganisir, yaitu kaum elit. Diluar kelompok ini massa yang tidak memahami keadaan.
Terdiri dari jaringan-jaringan interaksi antar-individu dan antar-kelompok, yang mencerminkan kemajemukan kepentingan dan nilai-nilai. Tidak satupun kelompok yang mampu mendominasi yang lain.
2.
NEGARA
Suatu subsistem yang berfungsi memelihara, mempersatukan dan mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Tindakan-tindakan negara bersifat mengikat.
Alat pemaksa yang dipakai oleh kelas penguasa untuk membuat rakyat tunduk pada kemauann
Sarana kekerasan yang terorganisir yang didominasi oleh satu kelas sosial yaitu kelas kapitalis.
Organ atau mekanisme yang dimanipulasi oleh sekelompok minoritas yang terorganisir, yaitu kaum elit, yang menjalankannya demi kepentingannya sendiri atau kepentingan pendukungny.
Hanya merupakan salah satu dari banyak lembaga politik yang ada dalam masyarakat. Negara mewakili kepentingan banyak kelompok. Karenanya ia demokratis.
3.
TERTIB SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL
Masyarakat dipandang sebagai statis; selalu mengutamakan integrasi, ketertiban dan stabilitas. Kalau masyarakat berubah, perubahan itu berujud penyesuaian terhadap lingkungannya. Equilibrium.
Masyarakat selalu dalam keadaan yang diliputi perubahan dan pertikaian. Konflik yang terjadi itu merupakan kekuatan dinamik masyarakat. Tanpa ada konflik kepentingan, masyarakat tidak akan bermakna
Sumber dinamika masyarakat adalah perubahan sosial. Perubahan sosial tidak bisa dielakkan.
Ketertiban dan status-quo sangat dipentingkan. Perubahan sosial dianggap membahayakan. Perubahan yang terjadi haruslah dituntun oleh kaum elit. Wujud perubahan yang terjadi sekedar sirkulai elit.
Perubahan terjadi secara bertahap. Perubahan terjadi akibat konflik antara kelompok yang saling bersaing tetapi masih dalam tertib kelembagaan. Perubahan yang terjadi tidak sampai mengganggu kestabilan.
4.
KETIMPANGAN DAN PELAPISAN SOSIAL
Pelapisan sosial diperlukan sebagai sistem integratif untuk memelihara tertib dan stabilitas sosial. Pemberian ganjaran secara tidak merata diperlukan untuk menjamin bahwa hanya orang yang cakap yang menduduki jabatan penting.
Pelapisan sosial merupakan penghalang terjadinya integrasi dan merupakan sumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat. Pelapisan/ketimpangan itu terjadi karena langkanya dan tidak meratanya distribusi sumberdaya dalam masyarakat.
Ketimpangan sosial dan pelapisan sosial adalah penyebab konflik. Ketimpangan dan pelapisan sosial bisa dihilangkan
Ketimpangan antara elit dan massa pasti terjadi. Elit pasti mendominasi massa. Elitis klasik: ketimpangan itu tidak bisa dihindarkan dan memang diperlukan. Elitis radikal: mengkritik keras terjadinya ketimpangan antara elit-masa.
Ketimpangan sosial memang ada, tetapi pengaruh dan keuntungan yang ada dalam masyarakat didistribusikan secara merata.
5.
POLITIK
Mekanisme untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Memainkan peran menengahi dalam penyelesaian konflik.
Politik berkenaan dengan kekuasaan, yaitu tentang siapa yang berkuasa, bagaimana ia memperoleh kekuasaan dan mengapa ia berkuasa. Politik membantu satu kelompok mencapai tujuannya dengan merugikan kelompok lainnya.
Sarana yang dipakai oleh kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi. Satu segi dari suprastruktur yang didominasi oleh kelas kapitalis.
Sarana yang dipakai kaum elit untuk menguasai dan memanipulasi massa.
Mekanisme untuk menengahi dan mewasiti berbagai kepentingan yang berbeda dan mewasiti berbagai konflik.
6.
PARTISIPASI POLITIK
Sarana yang dipakai oleh warga-negara dan kelompok-kelompok kepentingan untuk mendukung sistem politik. Sebagai imbalan terhadap dukungan warga negara itu, sistem politik memberikan kepemimpinan yang bertanggungjawab dan memenuhi tuntutan-tuntutan yang diajukan.
Yang paling aktif berpartisipasi adalah mereka yang paling beruntung dalam masyarakat. Tuntutan dari masyarakat terhadap sistem politik tidak ditanggapi secara seimbang. Ada yang ditanggapi lebih serius, ada yang tidak.
Bentuk-bentuk partisipasi konvensional bisa tidak efektif, karena hanya dilakukan demi kepentingan kelas penguasa. Bentuk-bentuk non-konvensional mungkin diperlukan.
Mayoritas warga bersifat pasif dan diam. Mereka sekedar dimanipulasi oleh kaum elit. Para politisi yang memerintah tidak selalu tanggap terhadap tuntutan warga.
Para pemilih dan kelompok kepentingan mempengaruhi proses pembuatan keputusan melalui cara-cara pemilihan, menjadi anggota kelompok kepentingan dan menemui dan berunding dengan pemimpin politik dan pemerintahan. Sistem politik selalu tanggap terhadap tuntutan warganya.
7.
KEKUASAAN
Medium yang sah untuk mempertukarkan dan memobilisasi sumberdaya politik dalam sistem politik demi mencapai tujuan-tujuan bersama.
Mekanisme yang tidak sah dan cenderung menguntungkan sekelompok kecil orang yang mendominasi masyarakat dengan merugikan sebagian besar anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan.
Terpusat di tangan para pemilik alat produksi, yaitu kelas penguasa
Terpusat di tangan mereka yang menduduki posisi-posisi tertinggi dalam struktur sosial. Kekuasaan adalah persekongkolan kepentingan dari lembaga-lembaga utama dalam masyarakat itu.
Bersifat polisentris dan tersebar diantara berbagai kelompok kepentingan. Tidak ada satu kelompok yang memonopoli kekuasaan.
VIII. Metode dan teknik pemetaan sosial
DEFINISI DAN CAKUPAN
Pemetaan sosial dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam Pengembangan Masyarakat yang oleh Twelvetrees (1991:1) didefinisikan sebagai “the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions.” Sebagai sebuah pendekatan, pemetaan sosial sangat dipengaruhi oleh ilmu penelitian sosial dan geography. Salah satu bentuk atau hasil akhir pemetaan sosial biasanya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu image mengenai pemusatan karakteristik masyarakat atau masalah sosial, misalnya jumlah orang miskin, rumah kumuh, anak terlantar, yang ditandai dengan warna tertentu sesuai dengan tingkatan pemusatannya.
Perlu dicatat bahwa tidak ada aturan dan bahkan metoda tunggal yang secara sistematik dianggap paling unggul dalam melakukan pemetaan sosial. Prinsip utama bagi para praktisi pekerjaan sosial dalam melakukan pemetaan sosial adalah bahwa ia dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dalam suatu wilayah tertentu secara spesifik yang dapat digunakan sebagai bahan membuat suatu keputusan terbaik dalam proses pertolongannya. Mengacu pada Netting, Kettner dan McMurtry (1993:68) ada tiga alasan utama mengapa para praktisi pekerjaan sosial memerlukan sebuah pendekatan sistematik dalam melakukan pemetaan sosial:
1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person-in-environment) merupakan faktor penting dalam praktek pekerjaan sosial, khususnya dalam praktek tingkat makro atau praktek pengembangan masyarakat. Masyarakat dimana seseorang tinggal sangat penting dalam menggambarkan siapa gerangan dia, masalah apa yang dihadapinya, serta sumber-sumber apa yang tersedia untuk menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat tersebut.
2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini. Tanpa pengetahuan ini, para praktisi akan mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi pekerjaan sosial maupun dalam memelihara kemapanan dan mengupayakan perubahan.
3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompok-kelompok begerak kedalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi, sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat membantu dalam memahami dan menginterpretasikan perubahan-perubahan tersebut.
IX. MEMAHAMI MASYARAKAT DAN MASALAH SOSIAL
Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai kerangka konseptualisasi masyarakat yang dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen masyarakat antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Misalnya, beberapa masyarakat memiliki wilayah (luas-sempit), komposisi etnik (heterogen-homogen)_dan status sosial-ekonomi (kaya-miskin atau maju-tertinggal) yang berbeda satu sama lain. Dalam makalah ini, kerangka untuk memahami masyarakat akan berpijak pada karya klasik Warren (1978), The Community in America, yang dikembangkan kemudian oleh Netting, Kettner dan McMurtry (1993:68-92). Sebagaimana digambarkan Tabel 1, kerangka pemahaman masyarakat dan masalah sosial terdiri dari 4 fokus atau variabel dan 9 tugas.
Penjelasannya:
Focus A: Pengidentifikasian Populasi Sasaran
Tugas 1: Memahami karakteristik anggota populasi sasaran
Apa yang diketahui mengenai sejarah populasi sasaran pada masyarakat ini?
Berapa orang jumlah populasi sasaran dan bagaimana karakteristik mereka?
Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang kebutuhan-kebutuhannya?
Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang masyarakat dan kepekaannya dalam merespon kebutuhan-kebutuhan mereka?
Focus B: Penentuan Karakteristik Masyarakat
Tugas 2: Mengidentifikasi batas-batas masyarakat.
Apa batas wilayah geografis dimana intervensi terhadap populasi sasaran akan dilaksanakan?
Dimana anggota-anggota populasi sasaran berlokasi dalam batas wilayah geografis?
Apa hambatan fisik yang ada dalam populasi sasaran?
Bagaimana kesesuaian batas-batas kewenangan program-program kesehatan dan pelayanan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran?
Tugas 3: Menggambarkan masalah-masalah sosial
Apa permasalahan sosial utama yang mempengaruhi populasi sasaran pada masyarakat ini?
Adakah sub-sub kelompok dari populasi sasaran yang mengalami permasalahan sosial utama?
Data apa yang tersedia mengenai permasalahan sosial yang teridentifikasi dan bagaimana data tersebut digunakan di dalam masyarakat?
Siapa yang mengumpulkan data, dan apakah ini merupakan proses yang berkelanjutan?
Tugas 4: Memahami nilai-nilai dominan
Apa nilai-nilai budaya, tradisi, atau keyakinan-keyakinan yang penting bagi populasi sasaran?
Apa nilai-nilai dominan yang mempengaruhi populasi sasaran dalam masyarakat?
Kelompok-kelompok dan individu-individu manakah yang menganut nilai-nilai tersebut dan siapa yang menentangnya?
Apa konflik-konflik nilai yang terjadi pada populasi sasaran?
Focus C: Pengakuan Perbedaan-Perbedaan
Tugas 5. Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme penindasan yang tampak dan formal.
Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat diantara anggota-amggota populasi sasaran?
Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat antara anggota populasi sasaran dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat?
Bagaimana perbedaan-perbedaan populasi sasaran dipandang oleh masyarakat yang lebih besar?
Dalam cara apa populasi sasaran tertindas berkenaan dengan perbedaan-perbedaan tersebut?
Apa kekuatan-kekuatan populasi sasaran yang dapat diidentifikasi dan bagaimana agar kekuatan-kekuatan tersebut mendukung pemberdayaan?
Tugas 6. Mengidentifikasi bukti-bukti diskriminasi
Adakah hambatan-hambatan yang merintangi populasi sasaran dalam berintegrasi dengan masyarakat secara penuh?
Apa bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh populasi sasaran dalam masyarakat?
Focus D: Pengidentifikasian Struktur
Tugas 7. Memahami lokasi-lokasi kekuasaan.
Apa sumber-sumber utama pendanaan (baik lokal maupun dari luar masyarakat) bagi pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang dirancang bagi populasi sasaran dalam masyarakat?
Adakah pemimpin-pemimpin kuat dalam segmen pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran?
Apa tipe struktur kekuasaan yang mempengaruhi jaringan pemberian pelayanan yang dirancang bagi populasi sasaran?
Tugas 8. Menentukan ketersediaan sumber.
Apa lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada pada saat ini yang dipandang sebagai pemberi pelayanan bagi populasi sasaran?
Apa sumber utama pendanaan pelayanan-pelayanan bagi populasi sasaran?
Apa sumber-sumber non-finansial yang diperlukan dan tersedia?
Tugas 9. Mengidentifikasi pola-pola pengawasan sumber dan pemberian pelayanan.
Apa kelompok-kelompok dan asosiasi-asosiasi yang mendukung dan memberikan bantuan terhadap populasi sasaran?
Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh interaksi di dalam masyarakat?
Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan masyarakat ekstra?
PENDEKATAN PEMETAAN SOSIAL
Metode dan teknik pemetaan sosial yang akan dibahas pada makalah ini meliputi survey formal, pemantauan cepat (rapid appraisal) dan metode partisipatoris (participatory method) (LCC, 1977; Suharto, 1997; World Bank, 2002). Dalam wacana penelitian sosial, metode survey formal termasuk dalam pendekatan penelitian makro-kuantitatif, sedangkan metode pemantauan cepat dan partisipatoris termasuk dalam penelitian mikro-kualitatif (Suharto, 1997).
Survey Formal
Survey formal dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi standar dari sampel orang atau rumahtangga yang diseleksi secara hati-hati. Survey biasanya mengumpulkan informasi yang dapat dibandingkan mengenai sejumlah orang yang relatif banyak pada kelompok sasaran tertentu.
Pemantauan Cepat (Rapid Appraisal Methods)
Metode ini merupakan cara yang cepat dan murah untuk mengumpulkan informasi mengenai pandangan dan masukan dari populasi sasaran dan stakeholders lainnya mengenai kondisi geografis dan sosial-ekonomi.
Metode Partisipatoris
Metode partisipatoris merupakan proses pengumpulan data yang melibatkan kerjasama aktif antara pengumpul data dan responden. Pertanyaan-pertanyaan umumnya tidak dirancang secara baku, melainkan hanya garis-garis besarnya saja. Topik-topik pertanyaan bahkan dapat muncul dan berkembang berdasarkan proses tanya-jawab dengan responden.
BAB III
MASALAH SOSIAL POLITIK
(kemiskinan)
A. KEMISKINAN
1. Defenisi Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memilihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisik dalam kelompok tersebut. Dan dapat diartikan juga sebagai Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia. Pemberdayaan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menekan angka kemiskinan agar tercapai tujuan pembagunaan .
Menurut John Friendman mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia.Sementara Chambers menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan mempunyai lima karakteristik yang saling terkait:
1. kemiskinan material,
2. kelemahan fisik,
3. keterkucilan dan keterpencilan,
4. kerentanan, dan
5. ketidakberdayaan.
Dari kelima karakteristik tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah kerentanan dan ketidakberdayaan. Kerentanan adalah ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin .Kerentanan sering menimbulkan kondisi memprihatinkan yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan asset produksinya sehingga mereka makin rentan dan tidak berdaya.
Sedangkan ketidakberdayaan adalah dimana elit desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan yang lain mungkin dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin di tipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan mengakibatkan terjadinya bias bantuan untuk si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi, seperti kasus dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Secara ekonomi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.Sumber daya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningklatkan kesejahteraan masyarakat.
Kenyataannya menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia berikut ini :
Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
Terbatasnya akses dan rendahnya di sebabkan oleh kesulitan mendapatkan mutu layanan kesehatan,kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat,kurang nya layanan reproduksi .jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya pengobatan dan biaya perawatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan dan asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial pada penduduk miskin.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkanoleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biayapendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga.
Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.
Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan.
Lemahnya jaminan rasa aman. Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.
Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin
2. Jenis-Jenis Kemiskinan
Besarnya kemiskinan bisa diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute
· Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.
· Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan dibawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.
3. Penyebab Kemiskinan
Faktor-faktor penyebab kemiskinan sangat sulit untuk dipastikan mana penyebab yang berpengaruh langsung dan yang tidak lagsung terhadap kemiskinan
Tingkat dan laju pertumbuhan output
Tingkat upah neto.
Distribusi pendapatan.
Kesempatan kerja
Tingkat inflasi
Pajak dan subsidi Investasi
Alokasi serta kualitas SDA dan ketersediaan fasilitas umum
Penggunaan teknologi dan tingkat & jenis pendidikan
Kondisi fisik dan alam
Politik dan peperangan
Bencana alam
Sedangkan Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan menjadi dua kategori :
1. Kemiskinan Natural atau alamiah
Kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah.
2. Kemiskinan structural
Kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Artinya sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.
Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu misalnya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya kecil sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled labors. Golongan miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah.
B. PROGRAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah besar di negara Indonesia terutama didaerah pedesaan. Persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat menjadi konflik untuk itu harus mencari alternatif penanggulanan kemiskinan.
Salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pemberdayaan, misalnya pemberdayaan lingkungan dan pembedayaan kewirausahaan. Pemberdayaan adalah suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat kemampuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pembangunan yang secara dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat mengambil keputusan. Pemberdayaan merupakan program komprehensif dan terpadu dalam rangka peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, human capital, yang sekaligus diarahkan untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) yang tujuan utamanya penghapusan kemiskinan dan peningkatan mutu manusia yang berbudaya dan demokratis.
Pemerintah pun telah banyak mengeluarkan program kebijakan yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan contohnya :
PKPS BBM yang terdiri dari program bagi-bagi uang atau BLT
P2KP yang kemudian diganti menjadi PNPM dengan aneka ragam jenis PNPM
program BOS
RASKIN
Askeskin
Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Menurut Roger Harris dalam bukunya yang berjedul information and communication technologies for poverty alleviation (2004), Strategi penanggulangan kemiskinan, antara lain:
Ø Mendistribusikan informasi yang relevan untuk pembangunan.
Ø Memberdayakan masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged) dan terpinggirkan (marginalized).
Ø Mendorong usaha mikro (fostering micro entrepreneurship)
Ø Meningkatkan layanan informasi kesehatan jarak jauh (telemedicine).
Ø Memperbaiki pendidikan melaslui e-learning dan pembelajaran seumur hidup (life long learning)
Ø Mengembangkan perdagangan melalui ecommerce.
Ø Menciptakan ketataprajaan yang lebih efesien dan transparan melalui e-govermence.
Ø Mengembangkan kemampuan.
Ø Memperkaya kebudayaan.
Ø Menunjang pertanian
Ø Menciptakan lapangan kerja, dan Mendorong mobilisasi social
C. KESIMPULAN DAN SARAN MASALAH SOSIAL (kemiskinan)
1. Kesimpulan
Kemajuan suatu masyarakat atau bangsa biasanya ditandai dengan tingginya perhatian yang diberikan pihak pemerintah terhadap kelompok-kelompok marjinal, baik marjinal dari sisi geografis maupun sosiologis, sebab kemajuan yang dicita-citakan mestinya berorientasi pada pemerataan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, sebuah bangsa akan disebut maju jika seluruh atau sebagian besar masyarakatnya telah berada dalam kondisi sejahtera. Indonesia sebagai sebuah negara berkembang masih menghadapi berbagai problem ekonomi baik makro maupun mikro, dan hal tersebut telah turut menghambat lajunya proses kesejahteraan kehidupan rakyat contohnya masalah kemiskinan dan kesejangan sosial antara desa dan kota. Salah satu akibat terjadinya kesenjangan sosial meningkatnya kasus kejahatan dan kriminalitas, meningkatnya urbanisasi dari desa ke kota . Dengan demikian pemerintah harus berupaya memberikan perhatian kepada masyarakat miskin sebagai langkah untk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dengan pemberdayaan. Pemberdayaan adalah sebuah program untuk mendorong masyarakat agar mampu melakukan perubahan yaitu keluar dari kemiskinan dan menjadai berdaya mandiri.
2. Saran
Terkadang bantuan-bantuan yang didapat dari pemerintah tidak dirasakan langsung oleh masyarakat dan tidak sesuai yang diharapkan dan terkadang ada aparat yang di percaya untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat malah menyelewengkan dana bantuan tersebut. Untuk itu diharapkan pemerinatah dapat terjun langsung memberikan dana tersebut ke masyarakat yang di tuju dan sebelumnya di tinjau terlebih dahulu apa yang sebenarnya masyarakat perlukan untuk dapat mensejahterakan keluarganya.
Selain bantuan materi yang di butuhkan masyarakat tetapi masyarakat juga membutuhkan bantuan moril atau ilmu pengetahuan untuk dapat mengelola dana tersebut agar dapat meningkatkan taraf kehidupan keluarganya.
BAB IV
PENUTUP
(hubungan teori dan praktek)
A. Pencerminan Teori Sosial dan Praktek Politik
Masalah hubungan antara teori social dan praktek social sebenarnya sudah menjadi obyek pembicaraan semenjak 2 abad yang lalu dan selama itu keduanya telah ditandai oleh kenyataan bahwa ia lebih mudah menimbulkan perselisihan daripada menghasilkan kejelasan pemikiran dan pemahaman. Meski demikian, masalah ini merupakan pokok persoalan yang cenderung menimbulkan perdebatan.
Dalam tulisan yang notabene kutipan dari ceramahnya ini, Ralf Dahrendorf menawarkan empat pemikiran sekaligus beberapa pertanyaan skeptis tentang teori social dan praktek social di dalamnya. Namun perlu kiranya diketahui terlebih dahulu bahwa apa yang ia maksud dengan praktek social sebagai hal-hal yang dilakukan oleh para menteri atau barangkali para anggota parlemen. Sedang teori social yang dimaksud adalah sebagai hal-hal yang dilakukan oleh para professor, paling tidak professor-profesor tertentu – profesor filsafat politik, kadang-kadang juga professor ekonomi, atau mungkin juga professor sejarah atau sosiologi.
Pemikiran pertama berkisar tentang persoalan sebagian orang yang nampaknya ingin menguasai bidang praktek politik dan teori social. Dengan kata lain, ada orang-orang yang ingin menjadi filsafat-politikus seklaigus. Dia mencontohkan, pada pertengahan tahun 1981 ada dua orang anggota parlemen yang pada mulanya sangat kritis dan keras pengecamannya terhadap Negara serta mengatakan bahwa Negara telah menjadi steril dari praktek politik ortodok, tapi setelah menjadi menteri mereka menjadi melempem dengan kebijakan-kebijakannya dan tuntutan-tunttan kritisnya dulu.
Perbedaan antara teori dan praktek semacam ini tidak terbatas pada spectrum poltik saja. Pada jajaran oposisi juga ada yang mengaku dirinya sebagai ahli teori social yang melihat dirinya dalam tradisi lama pemikir-pemikir social serta menyebut dirinya sebagai keturunan keluaraga Leverres. Ia juga sering menyebut agama Kristen sebagai sumber pemikiran politik dan sosialnya. Sayangnya, bila orang tersebut telah menduduki jabatan apalagi sebagai legislator penting, maka sama saja dengan para politisi lain, ada petunjuk bahwa mereka lebih dipengaruhi oleh sesuatu yang juga dikemukannya, yaitu langkah-langkah tekhnologi hebat yang melahirkan “kesaling tergantungan, kompleksitas, dan sentralisasi”. Bagi Dahrendorf, paling tidak dalam kenyataannya ada suatu jurang yang aneh antara teori social dengan praktek poltik. Individu-individu yang percaya pada apa yang mereka katakan dan tuliskan ketika bergelut dengan teori-teori social akan berubah sikapnya manakala sudah menduduki kursi social.
Pemikran yang kedua adalah masalah social dan politik menurut Hegel, yaitu bahwa para teoritisi social tidaklah boleh menulis mendahului waktu ketika ia memikirkan makna kemajuan sejarah. Kalimat Hegel yang terkenal adalah “ apa yang masuk akal adalah yang nyata dan apa yang nyata adalah yang masuk akal” dengan suatu moral (gagasan normatif). Ia mencoba mengatakan bahwa sesuatu yang difikirkan pada suatu waktu mempunyai hubungan yang pasti dengan sesuatu kejadian terjadi pada saat itu. Teori dan praktek mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, sekalipun tidak bisa segera dibuktikan.
Sesungguhnya republic- nya Plato tidak lebih dari perkiraan mengenai struktur moral dasar masyarakat sekitar Plato berada. Alasan yang sebenarnya tidaklah boleh melebihi realita. Teori social harus mencerminkan praktek social. Inilah yang menjadikan ungkapan Hegel menjadi relevan. Menurutnya, filsafat tidaklah mengajarkan apapun pada dunia. Filsafat hanyalah merupakan alat untuk memahami isi pokok dunia seperti adanya ; dan filsafat akan lengkap, sempurna, dan matang. Tidak mungkin seorang filosof bisa mendahului dunia tempat semasa ia hidup. Dalam beberapa hal, teori social bagi Hegel tidak lain merupakan ideology dalam arti sempit. Teori social merupkan gagasan yang melulu mencerminkan apa yang disebut Marx hubungan produksi dan kepentingan kelas yang mereka pertahankan. Gagasan hanyalah cermin realita yang mempunyai struktur penguasaan yang khas dan kepentingan yang terus membengkak. Teori social tidak saja bisa mengubah sesuatu, lebih dari itu ia juga bisa mendahului realita atau lepas darinya. Tidak ada peranan kritik bagi teori social baik dalam pengertian aliran Frankfrut atau aliran Kant yang sebenarnya. Bagi Hegel, jika teori meninggalkan realita, maka ia akan sia-sia dan tidak relevan.
Pemikiran ketiga yaitu pembicaraan tentang Marx. Titik tolaknya adalah pada tesisnya, Theses on Feuerbach: “ Para filosof hanyalah mengartikan dunia secara berbeda-beda, sedang masalahnya adalah bagaiman mengubahnya”. Perkataan ini rumit tapi juga berguna bagi interpretasi terburuk dan tidak menguntungkan, demikian kata Dahrendorf. Sebenarnya Marx hanya ingin mengatakan bahwa kalau keadaan ekonomi, social, dan politik dalam beberapa hal salah urus, maka filsafat juga akan mengena. Hanya dalam kondisi politik dan sosial yang benarlah filsafat akan benar. Tampak bahwa jalan keluar khas Marx yang menjungkirbalikkan posisi ajaran Hegel merupakan awal dari suatu tradisi khusus Marxis hingga kini yang cenderung menekankan pentingnya teori dan penegasan terhadap suatu pengertian yang menunjukkan bahwa teori dan praktek bukanlah dua kegiatan yang terpisah melainkan saling menjalin dalam suatu hubungan yang dialektis. Teori sebagai pengakuan dari suatu proses sejarah adalah praktek dan praktek tersebut akan ada tanpa teori.
Pemikiran yang keempat adalah mengenai Max Weber. Dalam dua pidato pentingnya pada 1919 yang berbunyi pengetahuan sebagai suatu profesi, yang mengupas bahwa politik tidaklah berada di ruang kuliah dan kita harus membedakannya dengan jelas antara apa yang dikerjakan sarjana dan apa yang dikerjakan politikus. Pertimbangan Weber ini mirip dengan pertimbangan Wilhelmina, yaitu bahwa dalam ruang sekolah murid-murid harus diam, esementara gurulah yang berbicara. Tentu saja seharusnya tidak demikian. Usaha Weber untuk membedakan ilmu pengetahuan (teori social) dengan politik tentu saja merupakan pernyataan tajam yang menegaskan bahwa tidak banyak penelitian ilmiiah yang bisa membuktikan pembenaran nilai. Alasan inilah yang membuatnya ingin memisahkan antara ilmu pengetahuan dan politik.
Dalam ceramah keduanya pada tahun yang sama dan judul yang sama, Weber membedakan antara etika keyakinan yang absolute dan tidak menerima realita apapun dengan etika tanggung jawab, yaitu pendekatan moral yang menilai situasi khusus secara pragmatis tanpa mengabaikan moralitas , tapi pada saat yang sama tidak membiarkan dikuasainya tindakan politik seseorang. Baginya politik harus diatur oleh suatu etika tanggung jawab yang dikendalikan etika keyakinan, yang berarti bersifat praktis. Politik dilakuakn satu orang meski tidak harus hasil pemikiran satu orang. Politik bukanlah hasil penerapan teori social, sebab keduanya adalah bidang yang terpisah.
B. Teori Sosial dan Politik dalam sejarah Teori Sosial
Inti dari tulisan Tom Bottomore ini adalah pembatasan diri yang kuat pada hubungan sejarah antara teori social dan politik dan mengabaikan perluasan pertanyaan filosofis yang muncul tentang hubungan antara teori dan praktek. Jadi sesungguhnya ia ingin menegaskan bahwa pengembangan teori social modern secara keseluruhan ini untuk menyebut tentang pengeahuan-pengetahuan social yang teoritis telah dikaitkan secara tertutup dan tidak dapat dilepaskan dari pengembangan sosio-ekonomis dan ekspresi-ekspresinya dalam perjuangan politik. Akhirnya mengakibatkan pertumbuhan yang cepat dari suatu ekonomi kapitalis dan munculnya berbagai kepentingan baru. Hal telah dipaparkan secara jelas dalam Encyclopedia Diderot dan d’ Alembert , yang ditujukan tidak untuk tidak hanya sekedar penyajian terakhir dari pengetahuan modern, namun pembelaan khusus dari pengetahuan modern, namun suatu pembelaan khusus dari pengetahuan social, dan suatu sumbangan bagi kemajuan gerakan demokratis.
Selama abad kesembilan belas, teori social menjadi lebih berhubungan secara baik sekali dengan doktrin-doktrin politik dan dengan gerakan-gerakan social yang bertujuan untuk menimbulkan perubahan-perubahan besar di dalam organisasi masyarakat. Pada satu sisi para teoritisi social menjadi sangat bersungguh-sungguh memusatkan perhatiannya terhadap apa yang mereka bayangkan sebagai masalah politik yang utama pada zaman mereka dan pada sisi yang lain, teori-teori social itu sendiri sampai dilihat di dalam cara yang terbaru sebagai suatu dasar yang penting dari doktrin-doktrin politik dan yang menyediakan elemen-elemen yang dapat dimasukkan secara langsung pada program-program dari gerakan-gerakan social dan partai-partai.
Penemuan itu adalah tentang ide bahwa kaum proletar merupakan factor social dan politik yang paling penting di dalam masyarakat modern. Penemuan ini selanjutnya membawa Marx pada suatu analisa akan situasi dari kaum proletar berkenaan dengan milik, produksi, dan pertukaran serta pada penonjolan perjuangna kelas sebagai elemen dinamis yang utama di dalam kehidupan social.
Dalam hal ini, Tom Bottomore mengungkapkan dengan gayanya yang menolak kemungkinan perluasan pengetahuan social yang obyektif dengan alas an ada perbedaan yang mencolok antara obyek-obyek penelitian ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan social.Masyarakat, katanya, bukanlah struktur luar yang pasti, yang tidak bisa mengubah, tindakan dan kesadaran manusia dalam beberapa cara yang biasa dapat diketahui dan dapat diduga.
Tom Bottomore juga berpendapat bahwa pembangunan social ekonomi dan pencuatannya dalam perjuangan politik telah menjadi demikian penting. Dengan kata lain, dengan munculnya masalah-masalah praktis dari kepentinan-kepentingan social yang baru telah melahirkan pemikiran yang sistematis tentang sifat masyarakat dan politik pada tempat pertama, dan para teoritisi masyhur dari masa sosiologi klasik akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, misalnya, semua orang mengembangkan ide-ide mereka di dalam kerangka komitmen poliik atau orietasi nilai.
Pada dasawarsa terakhir kita telah mengalami, di dalam penilaian Bottomore, suatu pencarian ide-ide yang lebih tua ketimbang suatu semburan yang kreatif, dan merosotnya kehidupan politik saat itu tampaknya telah pula mendorong keterbatasan dan kegelisahan para teoritisi. Namun, ia juga melihat sinar di kaki langit dalam bentuk gerakan-gerakan protes orang Eropa.
Di penghujung uraiannya, Bottomore memita untuk diperhatikannya filsafat yang telah ikut ambil bagian dalam pengembangan ilmu social pada dasawarsa-dasawarsa yang lalu; dan pada salah seorang pengecam dasar-dasar positivistis yang paling masyhur yang banyak terdapat dalam pengetahuan social yang juga merupakan penjelas alternative hermeneutis yaitu Charles Taylor, yang uraian terakhirnya membicarakan adanya kemungkinan peranan teori di dalam meruntuhkan atau memperkuat dan biasanya menyusun sifat dan tindakan-tindakan kita.
Berbagai teori mempunyai efek ini, ia tetap berharap untuk membuktikan bahwa teori-teori ini tak pernah bisa menjadi factor yyang tidak terlalu menmentukan berbagai tindakan. Peranan teori ini menurutnya adalah untuk membedakan ilmu pengetahuan social dengan ilmu pengetahuan alam, karena ilmu-ilmu itu bukanlah obyek-obyek yyang kurang lebih bebas, melainkan merupakan bagian yang menyusun atau mengubah obyk-obyek mereka. Persoalan selanjutnya adalah pengesahan teori sehubungan dengan tidak adanya test atau aplikasi empiris yang sederhana. Pengesahan katanya, hanya bisa datang dari efek-efek tindakan, kalau tindakan itu bersifat waskita bagi pelaku. Akan tetapi kemungkinan untuk berangan-angan, meski untuk diri sendiri, menjadi sangat besar. Tidak ada cara yang sederhana yang memungkinkan tercapainya pemahaman social yang waskita.
C. perkiraan, Tindakan, dan Nilai-nilai Obyektivitas Ilmu-Ilmu Sosial
Apabila Bottomore berpendapat bahwa pengesahan ,hanya bisa datang dari efek-efek tindakan, kalau tindakan itu bersifat waskita bagi pelaku. Akan tetapi kemungkinan untuk berangan-angan, meski untuk diri sendiri, menjadi sangat besar. Tidak ada cara yang sederhana yang memungkinkan tercapainya pemahaman social yang waskita, maka bagi Amartya Sen ada kebutuhan yang sangat besar dari ilmu pengetahuan social yang factual terhadap cara untuk mempertimbangkan pernyataan-pernyataan social dan politik yang penting yang ia sebut sebagai kebutuhan ilmu sosial. Ia berharap bisa mempertahankan gagasan akan “pengetahuan social yang obyektif” dengan mencoba mengupayakan melalui perbuatan perbedaan-perbedaan penting di antara perhitungan dan tindakan , atau antara kebenaran dan kebajikan. Dari sana ia berharap bisa menemui obyektivitas bahkan kejujuran, yang menghimpun peristiwa-peristiwa dan proses-proses politik.
Namun begitu, hal ini tidaklah cukup karena kita juga perlu tahu bahwa perhitungan tersebut adalah baik, dan tergantung pada pernyataan apa yang kita harapkan bisa diperhitungkan. Oleh karena itu, tegasnya, kita mempunyai suatu use-interest di dalam perhitungan. Tindakan, di lain fihak merupakan sesuatu yang sarat nilai-nilai yang mencakup upaya praktek ilmiah dan pembuatan pernyataan. Inilah masalah ilmu pengetahuan alam seperti halnya juga pengetahuan social. Pengetahuan social mungkin bisa menjelaskan kebenaran dan kebajikan dari berbagai pernyataan, tapi sudah tentu ia tidak dapat menceritakan kepada kita kenapa tindakan – tindakan itu dilakukan, selain juga tidak menyediakan pertimbangan-pertimbangan nilai tentang mereka.
D. Teori Sosial, Pengertian Sosial, dan Tindakan Politik
Masalahnya bukannya teori-teori di atas harus mendukung praktek sosialnya seperti yang disepakati oleh Charles Taylor dan Amartya Sen, tapi sebagaiman ditegaskan oleh Jhon Dunn, semua yang dimiliki harus bisa menjembatani jurang pemisah antara pemahaman social kita dengan pengetahauan kita tentang sejarah modern. Karena baginya manusia bukanlah sesuatu yang sederhana tetapi perlu dipelajari bahkan harus dipelajari secara mendalam. Kita semua mungkin harus menjadi para teoritisi amatir, sekalipun hasrat terhadap ilmu pengetahuan social yang sesungguhnya telah pernah menghasilkan dosis-dosis yang lebih berarti ketimbang pembentukan teori sebab-akibat yang professional (yang di dalam konteks kepercayaan yang diyakini bahwa dunia tidaklah mungkin bisa difahami secara fundamental), yang dalam pandangannya menuju ke suatu pernyataan yang mencerminkan kemabukan ideologis. Sebagai teoritisi amatir ini kita nantinya diharapkan menemukan dasar pemikiran bahwa setiap manusia mempunyai sedikit banyaknya teoritisi social resmi yang homogen, atau seperangkat teori social. Seperti Habermas, ia percaya bahwa para teoritisi social sedikit banyak harus mengerti tentang teori dan filsafat secara utuh dan memperhatikan konsepsi diri yang dipegang oleh dirinya asendiri.
Jurang pemisah antara pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain harus ditutup. Hanya dengan cara ini, tegasnya, teori dapat melayani praktek dengan lebih baik. Kesimpulan ini dikaitkan secara langsung oleh Dunn pada politik orang-orang Inggris modern yang sebelumnya pernah dicoba dengan teori-teori resmi yang tidak saja menimbulkan penderitaan besar ( karena tak adanya integritas social dan sintesa ideology yang bermoral , sehingga muncullah kekerasan bagi yang benar), tetapi juga penyurutan atas kemungkinan-kemungkinan kerjasama social.
Apa yang dibutuhkan, menurut keyakinannya adalah kesederhanaan dan pandangan terhadap wewenang politik yang lebih demokratis serta penutupan jurang-jurang pemisah antara teori-teori resmi, amatir, dan professional.
E. Marxisme dan Komunisme
Akhirnya, pertautan antara teori Marxis dan praktek komunis merupakan masalah yang abadi bagi para ilmuwan social dan praktisi politik. Dalam uraian yang terakhir, Wlodzimiers Bruss mempersoalkan relevansi pandangan teoritis Marxis yang kritis untuk memahami dari mencari suatu use-value bagi para praktisi politik di Negara-negar tersebut. Ia menegaskan bahwa kondisi yang penting dari hal ini adalah pengakuan bahwa Negara-negara tersebut sarat dengan kecenderungan dan kekuatan yang saling bertentangan dan begitulah Marxisme, suatu teori yang baik asal muasalnyamaupun sifatnya sama mengandung berbagi kontradiksi social, sekalipun kemudian ia mampu menawarkan pengertian-pengertian tertentu pada para pembaharu.
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hikmat, Harry (2001), Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama.
LCC (League of California Cities) (1977), “Problem Analysis: Data Collection Technique”,
dalam Gilbert, Neil dan Harry Specht, Planning for Social Welfare: Issues, Models and
Tasks, New Jersey: Prentice-Hall, hal. 311-323.
Netting, F. Ellen, Peter M. Kettner dan Steven L. McMurtry (1993), Social Work Macro
Practice, New York: Longman.
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum
Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
-------- (2002), Profiles and Dynamics of the Urban Informal Sector in Bandung: A Study of
Pedagang Kakilima, unpublished PhD thesis, Palmerston North: Massey University
Twelvetrees, A. (1991), Community Work, London: McMillan.
Warren, R. L. (1978), The Community in America, Chicago: Rand McNally.
World Bank (2002), Monitoring and Evaluation: Some Tools, Methods and Approaches,
Washington D.C.: The World Bank
--------1957. "Ritual and Social Change: A Javanese Example", American Anthropologist, Vol.
59, No. 1.
Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.
http://www.damandiri.or.id/file/buku/buku3haryono2005bab2.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2005/BI/TUJUAN%201.pdf
http://komunitas.wikispaces.com/file/view/kemiskinan+dan+upaya+pemberdayaan+masyarakt.pdf
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/156/0
http://www.p2kp.org/wartaprint.asp?mid=1495&catid=2&
http://komunitas.wikispaces.com/file/view/kemiskinan+dan+upaya+pemberdayaan+masyarakt.pdf
http://www.bappeda-purwakarta.or.id/artikel/kemiskinan%20perempuan.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar